Lebaran dan Konsumerisme


Ada baiknya kita selami tulisan dan pemahaman Hidayat Sudrajat mengenai lebaran dan konsumerisme yang ditulis di Kompasiana berikut:

Seorang perempuan muda yang masih berusia muda (22 tahun) nekat memanjat menara sutet setinggi 70 meter. Alasannya karena satu hal, yaitu ketika dia meminta untuk beli baju baru untuk lebaran, suaminya tidak memberikannya uang, karena uangnya sendiri masih kurang. Suaminya memiliki uang 100 ribu, sedangkan istrinya perlu 150 ribu untuk beli baju baru. Di Indonesia, sudah menjadi sesuatu yang lumrah ketika menjelang Idul Fitri orang-orang berbelanja, membeli barang-barang baru. Mulai dari baju, sepatu, ponsel, hingga mobil baru. Bahkan orang sampai nekat minjam uang sana-sini untuk beli barang-barang baru tersebut, dari pinjam ke sanak saudara hingga ke rentenir. Banyak toko-toko di luar sana memberikan diskon (mulai dari yang biasa hingga luar biasa, bahkan hingga 90%), memanfaatkan momentum lebaran. Pusat-pusat perbelanjaan menjadi penuh sesak dan masjid menjadi kosong lopong. Keluar dari tempat belanja, mereka membawa banyak kantong belanja dan (mungkin) juga membawa banyak pikiran untuk membayar hutang kartu kredit mereka. Pada titik tertentu, seseorang akan mengalami depresi. Karena melihat orang lain berbelanja menjelang lebaran, dia juga ingin bisa berbelanja seperti itu. Motif dari ingin berbelanja seperti itu bisa jadi banyak, seperti karena iri, gengsi, atau merasa bahwa Lebaran itu hampa tanpa barang baru. Tetapi karena keterbatasan (umumnya keterbatasan dari segi ekonomi), dan dia tidak mampu mengendalikan nafsu untuk berbelanja, maka akan timbul dorongan untuk melakukan segala cara agar keinginannya terpenuhi, baik cara itu secara baik-baik, seperti berusaha dengan keras untuk mendapat uang atau cara nekat, seperti menipu, meminjam ke rentenir atau mencuri. Ketika dia mampu memenuhi keinginan ini dengan cara baik, tentu saja dampak yang muncul baik juga. Dia akan bahagia pada saat Lebaran nanti karena bisa menikmati hasil banting tulangnya. Tetapi ada juga yang nekat. Biasanya yang nekat ini adalah mereka yang terlena budaya instan atau ketika usaha untuk memenuhi keinginannya malah mentok (misalnya karena 3 hari lagi lebaran) dan terus ngotot. Dan inilah yang berbahaya dari budaya konsumerisme (terutama) ketika lebaran. Dia bisa saja mengakhiri hidupnya, atau menghalalkan darah sesamanya. Bisa saja sebelum lebaran, atau sesudah lebaran (karena bingung membayar hutang belanja lebaran). Konsumerisme bisa diartikan menjadi dua pengertian. Yang pertama adalah usaha untuk mendukung kepentingan konsumen, misalnya menjamin keamanan suatu produk, dan juga bidang mengenai regulasi, berinteraksi, atau studi mengenai pasar. Dan pengertian kedua adalah proses konsumsi suatu produk hasil produksi yang tidak benar-benar dibutuhkan secara berlebihan, yang dilakukan secara sadar dan berkelanjutan. Dan yang saya maksud adalah pengertian yang kedua. Padahal, Idul Fitri bukan fisik yang baru, seperti kendaraan, baju, perhiasan, atau bahkan wajah baru (yang lebih putih misalnya). Tetapi Idul Fitri adalah jiwa yang baru. Saya memaknai Idul Fitri sebagai hari kembalinya kita kepada fitrah kita. Dan fitrah kita adalah agama yang kita anut. Kita kembali menjadi muslim setelah kita melenceng dari agama kita. Dan Ramadhan adalah bulan dimana setiap harinya kita ditempa untuk menjadi lurus kembali. Sebagaimana besi yang sudah bengkok teu puguh ditempa lagi dengan palu dan dibakar dengan suhu tinggi. Dan ketika besi itu keluar dari “siksaan” tersebut, besi itu akan menjadi sesuatu yang berguna, dan bahkan benda yang indah. Sebetulnya tidak salah bagi mereka untuk berbelanja membeli barang-barang baru dalam rangka menyambut Idul Fitri. Kalau sanggup silakan, tetapi kalau tidak sanggup, janganlah memaksakan diri. Akan tetapi, perlu dipikirkan untuk mengalokasikan uang mereka untuk hal yang lebih bermanfaat, terutama bagi sesama. Alangkah baiknya kita tidak boros dan tidak mengabaikan hak kedua orang tua, kaum fuqara dan masakin, kerabat, anak-anak yatim, hamba sahaya, teman sejawat, dan ibn sabil atas harta kita (QS 2:215, 4:36, 17:26, 30:38). Dan jika kita memberikan harta kita dengan ikhlas kepada mereka, hal itu tidak akan membuat kita menjadi miskin (QS 9:28), serta menjadikan kita tidak termasuk orang yang mendustakan agama (QS 107) dan orang yang rejekinya dibatasi (QS 89:16-20). Dan itu jugalah mengapa kita wajib mengeluarkan zakat fitrah, untuk membersihkan jiwa kita. Dan jangan lupa bersyukur, berterima kasih atas segala nikmat yang telah Allah berikan. Sebesar atau sekecil apapun itu. Bersyukur dapat menambah nikmat kita, sehingga jiwa menjadi lebih tenang dan secara psikologis diri kita akan menjadi lebih bahagia. Dan juga Allah akan menambah nikmat bagi mereka yang bersyukur (QS 14:7). Lebaran adalah momentum paling pas bagi kita untuk kembali menjalankan agama kita (baca: berislam) secara kaffah, menyeluruh. Mulai menjalankan kewajiban kita untuk memperoleh hak kita, dan juga menunaikan kewajiban kita untuk memenuhi hak orang lain atas kita. Kita tebarkan kembali senyuman di wajah dan kebahagiaan di hati seluruh umat manusia. Kita tegakkan kembali Islam sebagai Rahmatan lil ‘Alamin (Kasih sayang bagi seluruh alam). Bukankah hal yang demikian itu indah?

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/kangdai/lebaran-dan-budaya-konsumerisme_552b7c6f6ea83444698b459a

 


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *